Sekolah luar
biasa khusus anak tunarungu (SLB-B)
Secara fisik, anak tunarungu tidak
berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak
menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau
dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak
berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat.
Dari ketidakmampuan anak tunarungu
dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tunarungu
ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi
secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap
ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan
ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan
sehari-hari.
Tujuan Umum
Agar dapat
mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus,
khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan
bagi anak didik dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita
sehingga anak-anak tersebut dapat menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa
ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar dan bekerja, memiliki sifat
dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja
di masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai
dengan azas pendidikan seumur hidup.
Metode pengajaran
bagi anak tunarungu
Belajar Bahasa
Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan
orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi,
hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972).
Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau
jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi
ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat
memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka
yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi
pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang
struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi
yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya
merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan
bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca
bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada
cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini
dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued
Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang
menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di
sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan
dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat
bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan
oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat
ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal
AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan
sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk
meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi
untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued
Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari
sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat
dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem)
maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan
cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya
yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa Melalui
Pendengaran
Ashman & Elkins (1994)
mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat
memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang
telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat
yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis
alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal
(mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen
internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam
cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal
dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant
dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan
stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam
lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara
cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan
fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang
ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal
ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran
dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu
tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak
berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara
Manual
Secara alami, individu tunarungu
cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk
tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang
dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa
komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap
tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan
baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Penyelenggaraan Sekolah
Sejalan dengan usaha Peningkatan
Mutu Pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus
maka pemerintah senantiasa berusaha secara terus menerus memperhatikan
perkembangan dan pertambahan Sekolah penyelenggara pendidikan khusus baik
kualitatif maupun kuantitatif. Dalam menyelenggarakan pendidikan khusus untuk
anak Tunanrungu perlu diperhatikan hal-hal nya seperti :
- Lokasi
- Bangunan/gedung
- Perabot
- Alat pendidikan khusus
- Alat peraga pendidikan
- Personil sekolah
a.Tenaga kependidikan
b. Tenaga Administrasi
c. Tenaga ahli
d. Tenaga kepustakaan - Kurikulum
- Manajemen dan Administrasi
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa
bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram
bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat
keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa
kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan
auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan
agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang
memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam
masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang
mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan
komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori
verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi
memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara.
Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip
yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk
mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai
bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah
sebagai berikut:
- Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah
tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg &
Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden
terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan
dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke
lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi
tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu,
keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak
berpendengaran normal.
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan
atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik
secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak
tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan
di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut
mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori
oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
- Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa
pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan
merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai
sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari
keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi,
diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan
keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa
lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang
dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan
dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan
keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan
fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat).
Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang
berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah,
pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada
masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam
kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini
tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan
auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan
berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai
kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989
dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17
tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat
keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada
tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata
kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar