TUNA
DAKSA
Semua anak, baik normal maupun
tuna (berkelainan) memiliki kesempatan
yang sama di dalam hal pendidikan dan pengajaran. Namun harus diakui bahwa anak
yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi
fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku
dan kehidupannya.
Secara etiologis, gambaran seseorang
yang diidentifikasi mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami
kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka,
penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemapuan untuk melakukan
gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Secara definitif,
pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan
anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya
kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal sehingga untuk
kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus.
Menyimak keadaan fisik yang tampak
pada anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf tidak terdapat perbedaaan yang
mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan,
terutama pada fungsionalisasi anggota tubuh namun, apabila dicermati secara
seksama untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya akan tampak perbedaan. Konsidi
ketunadaksaan dikaitkan dengan masalah sosial ekonomi dapat dikelompokkan:
- Penderita
tunadaksa yang hanya memerlukan pertolongan dalam menempatkan pada
pekerjaan yang cocok.
- Penderita
tunadaksa karena kelainannya sehingga memerlukan latihan kerja (vocational
training) untuk dapat ditempatkan dalam jabatan-jabatan biasa (open
employment)
- Penderita
tunadaksa setelah diberi pertolongan rehabilitasi dan latihan-latihan
dapat dipekerjaan dengan perlindungan khusus (sheltered employment).
- Penderita
tunadaksa yang sedemikian beratnya sehingga memerlukan perawatan secara
terus menerus dan tidak mungkin dapat produktif.
Anak-anak tunadaksa sebenarnya tidak
selamanya memiliki keterbelakangan mental. Ada yang mempunyai kemampuan daya
pikir yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal. Bahkan tidak jarang
kelainan yang dialami seorang anak tunadaksa tidak memengaruhi perkembangan
jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada diantara
anak tunadaksa hanya mengalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti
pendidikan sebagaimana anak normal lainnya.
Secara umum perbedaan antara anak
tunadasa dengan anak normal terutama terdapat dalam tingkat kemampuannya. Namun
hal ini juga sangat tergantung dari berat ringannya ketunaan yang mereka
sandang.
Klasifikasi Anak Tunadaksa
Secara
umum, karakteristik kelainan anaak yang dikategorikan sebagai penyandang
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi:
- Tunadaksa Ortopedi (orthopedically handicapped)
Anak
tunadaksa ortopedi merupakan anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan,
ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian
baik yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian
(karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh
secara normal.
Penggolongan
anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai
berikut :
a. Poliomyelitis
Poliomyelitis
merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus
polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat menetap.
Dilihat
dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dibedakan menjadi :
- Tipe
spinal yaitu kelumpuhan pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
- Tipe bulbair
yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan
ditandai adanya gangguan pernafasan
- Tipe
bulbispinalis yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
- Encephalitis
yang biasa disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang-kadang kejang.
b. Muscle dystrophy
Merupakan
jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami
kelumpuhan yang bersifat progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya
dengan keturunan.
c. Spina bifida
Merupakan
jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu tiga
ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan.
1. Tunadaksa
Saraf (neurologically handicapped)
Anak tunadaksa saraf yaitu anak tunadaksa yang mengalami
kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol
tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga
jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi,
dan mental. Luka pda bagian tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan
dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan
berbagai bentuk kegiatan.
Dalam banyak kasus, luka atau gangguan yang terjadi pada
otak atau bagian-bagiannya baik yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran
dapat menyebabkan gangguan pada mental, kekacauan bahasa (aphasia),
ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan menulis (agrafia),
ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan
berbicara (speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli),
dan berbagai bentuk gangguan gerak lainnya.
Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak
dapat dilihat pada anak cerebral palsy. Cerebral palsy berasal
dari kata cerebral yang artinya otak, dan palsy yang mempunyai
arti ketidakmampuan atau gangguan motorik. Cerebral palsy ditandai oleh
adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi,
kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh
adanya kerusakan atau kecatatan pada masa perkembangan otak.
Menurut
Hallahan & Kaufman dalam Efendi dilihat dari manifestasi yang tampak pada
aktivitas motorik, anak cerebral palsy dapat dikelompokkan menjadi:
a. Spasticity
Ciri-cirinya
terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya hal ini disebabkan oleh
kondisi anak yang mengalami spasticity terjadi karena lapisan luar otak
(khususnya lapisan motor) bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang
ekstra piramida yang berhubungan dengan pengontrolan gerakan sadar tidak
berfungsi sempurna. Daerah tertentu pada otak dapat menimbulkan gerakan
tertentu, kontraksi, atau rangsangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya
kondisi tersebut disebut supresor. Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan
hilang, gerakan yang muncul menjadi tidak harmonis, tidak terkontrol, dan
kontraksi otot tidak teratur sehingga gerakan yang tampak seperti suatu
hentakan.
b. Athetosis
Penyebab
athetosis yaitu luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak
depan maupun tengah. Ekstra piramida menjembatani antara kegiatan otot dan
kontrol gerak secara otomatis seperti berjalan dan ekspresi wajah.
c. Ataxia
Kondisi
ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian
belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol
keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia
gerakannya tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dan dengan mudah
menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak terkoordinasi, gerakannya seperti
tersentak-sentak (nygtamus).
d. Tremor dan Regidity
Ciri-cirinya
penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol, kekakuan pada seluruh
tubuh sehingga sulit dibengkokkan, getaran terus menerus pada mata, tangan,
atau kepala. Tremor dan regidity mirip dengan athetosis
yaitu disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida.
Dampak Ketunadaksaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi motorik dalam kehidupan
manusia sangat penting, terutama jika seseorang itu ingin mengadakan kontak
dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam sekitarnya.
Maka peranan motorik sebagai sarana yang dapat mengantarkan seseorang
untuk melakukan aktifitas mempunyai posisi yang dapat mengantarkan seseorang
untuk melakukan aktifitas mempunyai posisi yang sangat strategis, disamping
kesertaan indra yang lain. Oleh karena itu, dengan terganggunya fungsi motorik
sebagai akibat dari penyakit, kecelakaan atau bawaan sejak lahir, akan
berpengaruh terhadap keharmonisan indra yang lain dan pada gilirannya akan
berpengaruh pada fungsi bawaannya.
Ditinjau dari aspek psikologisnya anak tunadaksa memang
cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula
muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Keadaan yang seperti ini dapat
mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap
lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya.
Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa dalam Seting Inklusif
Layanan
pendidikan anak tunadaksa memiliki subtansi-subtansi, diantaranya mengenai
tujuan pendidikan anak tunadaksa, tempat pendidikan, sistem pendidikan, dan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar bagi anak tunadaksa.
a. Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam
sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti
pendidikan lanjutan. Sasaran pendidikan pada tunadaksa bersifat dual purpose
(ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan
dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan
keutuhan pribadi anak tunadaksa. Pendidikan anak tunadaksa perlu
mengembangkan 7 aspek yaitu:
- Pengembangan
Intelektual dan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di
sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D)
tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal
yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak
tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.
2.
Membantu
Perkembangan Fisik
Dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab
terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis.
Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu,
guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan
dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik
anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
3.
Meningkatkan
Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan
psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap ketunaan agar dapat
menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah
yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
4.
Mematangkan
Aspek Sosial
Aspek sosial meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya
perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut
serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama
dengan kelompoknya.
5.
Mematangkan
Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang
nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral
dan spiritualnya.
6.
Meningkatkan
ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui
kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan.
7.
Mempersiapkan
Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas
untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali mereka dengan
latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal
hidupnya.
b. Sistem Pendidikan
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak
dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara
khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan
(jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah
biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum
harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai
dengan kebutuhannya.
- Penempatan di
kelas reguler
Hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
a)
Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa
untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu
agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda.
b)
Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak
sering tidak masuk sekolah.
c)
Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat
masalah fisiknya secara langsung
d)
Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan
kesehatan yang lebih parah.
- Penempatan di
ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas
reguler karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang
sumber. Murid yang datang ke ruang sumber tergantung pada materi pelajaran yang
menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya
anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal.
c. Kebutuhan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa secara umum hampir tidak memerlukan program
pembelajaran yang berbeda dengan anak normal lainnya. Bahkan sebagian dari
mereka khususnya yang mengalami gangguan ortopedi memiliki kemampuan kognisi
yang relatif baik seperti halnya teman-teman yang normal lainnya. Ada 3 hal
yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru sebelum melaksanakan
kegiatan pembelajaran di kelas:
- Keluasan Gerak
Derajat gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat
bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian
tersebut maka hal penting yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana
agar anak dapat mengakses ke semua penjuru layanan pendidikan di sekolah dengan
memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah akses utama adalah yang berkaitan
dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan kelas, dan fasilitas sekolah
lainnya (ruang perpustakaan, laboratorium, ruang olahraga, dan toilet).
2.
Latihan
Keterampilan Menolong Diri (Self Help)
Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat
membutuhkan latihan batu diri (self help). Self help sangat dibutuhkan
anak terutama yang berkaitan dengan aktivitas mereka sehari-hari baik di
sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum. Hal tersebut diharapkan anak bisa
mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Contohnya kegiatan makan
dan minum, kegiatan yang melibatkan motorik halus (menggambar, menulis,
melipat), keterampilan buang air kecil. Dari contoh tersebut merupakan hal yang
penting yang harus dikuasai anak di sekolah.
3.
Kebutuhan
Psikososial
Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap perkembangan psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
tunadaksa memiliki kesulitan dalam mengembangkan sense of self esteem
yang positif dan mengalami kecemasan yang lebih besar dibandingkan anak normal
lainnya. Untuk mendukung agar anak tunadaksa memiliki sifat sense of
self esteem yang positif, maka seluruh anggota keluarga, guru di sekolah,
dan teman-teman sebaya di kelas harus memberikan dukungan dan bisa menerima
anak dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Dengan dukungan yang positif
ini diharapkan anak dapat menerima keadaan dirinya secara positif dan pada
akhirnya menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di sekolah.
d. Strategi Membantu Anak Tunadaksa agar
Berhasil di Sekolah
Bagi siswa berkelainan fisik dalam belajar di sekolah
membutuhkan lingkungan yang kondusif, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun
sosial. di sekolah inklusi integrasi pembelajaran antara siswa normal dan
berkelainan fisik memerlukan penggabungan antara guru reguler dengan guru
pembimbing khusus atau dengan tenaga profesional lainnya. Demikian juga di
dalam kelas anak sangat membutuhkan sikap positif yang dapat diterima dari guru
dan teman lainnya.
- Pengajaran Kemandirian
Penekanan pembelajaran yang dianjurkan adalah latihan
kemandirian yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Melalui
pembelajaran kemandirian diharapkan dapat mendukung kemandirian pribadi,
kepercayaan diri, dan self esteem yang baik.
2.
Belajar
Kelompok
Belajar kelompok dalam penerapan di sekolah memiliki nilai
positif terutama dalam membaurkan anak tunadaksa dengan anak normal di kelas
yang bersangkutan. Dengan belajar kelompok tersebut diharapkan dapat terbentuk
sikap positif anak yang saling menghargai, saling mengerti, saling toleransi
yang akhirnya dapat meniadakan atau meminimalisir kecurigaan negatif di antara
satu dengan yang lainnya.
3.
Team
Teaching
Hal terpenting dalam upaya membentuk kelas/sekolah inklusi
adalah perlunya pendidik bekerjasama dalam memberikan layanan pendidikan yang
seefektif mungkin bagi semua anak, baik anak bekelainan fisik maupun anak
normal.
Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Dalam
pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlaksanaannya,
seperti berikut.
- Perencanaan
Kegiatan Pembelajaran
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi
anak tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang
cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus memperoleh
pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan
program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang
diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun
langkah-langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI)
yaitu:
- Membentuk tim
PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I),
yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala
sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
- Menilai kekuatan
dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.
- Mengembangkan
tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
- Merancang metode
dan prosedur pencapaian tujuan
- Menentukan metode
dan evaluasi kemajuan
2.
Prinsip
Pembelajaran
Ada
beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa,
diantaranya sebagai berikut.
a. Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin
memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena
banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan
multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat
membantu proses pemahaman.
b. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan
pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya
dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan
pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan
yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
c. Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka
dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan
belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang
memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah.
Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3
kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan
mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah
digunakan.
Beberapa
kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
- Macam-macam
ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan
perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy),
ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri,
terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
- Jalan masuk
menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak
tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace,
kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
- Tangga sebaiknya
disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
- Lantai bangunan
baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak
licin.
- Pintu-pintu
ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat
mengatup ke dalam.
- Untuk
menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya
disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar
anak dapat mandiri berambulasi.
- Pada beberapa
dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi
sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
- Kamar
mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera
dapat menjangkaunya.
- Dipasang WC
duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
- Kelas sebaiknya
dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan
kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel,
tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk)
agar aman.
Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakukan
pada penyandang kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan
untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain.
Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi
anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis
akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti
tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita
tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis
rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
1. Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat
digunakan, antara lain operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily
living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas, pemberian
pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.
Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan
salah gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan
terjadinya kesalahan bentuk atau gerak.
Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang
mengalami kelainan, yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan
medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak secara aktif melalui
berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan keseimbangan, dan lain-lain.
Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang digunakan sangat
bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas
sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy),
penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan
sehari-hari, dengan maksud untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan
atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan
sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam
hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas
bersifat fisik dan psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar
menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau
pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini
antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut,
untuk melatih kemampuan tangan.
Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk
mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki
tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari
kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu
menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk
menambah kepantasan atau keindahan).
Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk
menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat
berupa brance dan spint. Dilihat dari fungsinya perangkat
ortopedi dapat dibagi menjadi:
- Perangkat yang
berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan
- Perangkat yang
berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas
- Perangkat yang
berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun
fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:
- Menguatkan dan
mengembalikan fungsi
- Mencegah agar
tidak menimbulkan salah bentuk
- Pembatasan gerak
- Perbaikan salah
bentuk
2. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi
penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan member kesempatan anak tunadaksa
untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam rehabilitasi
vokasi ini antara lain:
- Counseling, adalah
penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau kemauan
penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka
tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit
kembali.
- Revalidasi, merupakan upaya
mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa untuk memperoleh
bimbingan jabatan dan latihan kerja.
- Vocasional
guide, adalah
pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam kaitannya pemilihan
jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
- Vocasional
assessment, merupakan
penialian terhadap kemampuan penyandang kelainan melalui sebuah bengkel
kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
- Team work, adalah kerjasama
antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim rehabilitasi, seperti
kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog,
ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
- Vocasional
training, adalah
pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang tunadaksa mandiri dan
produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
- Selective
placement, adalah
penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan setelah selesai
menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
- Follow up, adalah tindak
lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa menempati jabatan
pekerjaan.
3. Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan
dengan harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang
menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial
dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain dilakukan secara
bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program
rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:
- Meminimalkan
dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti
rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan
lain-lain.
- Meningkatkan
kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih
kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada
tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
- Mempersiapkan
mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga
dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh
ketunaan atau kelainannya.